Follow Us!

Tanda Mata Dari Kepulauan Fam: Sebuah Inisiatif Berbasis Masyarakat, oleh Nikka Amandra Gunadharma & Rens R. Lewerissa

Tanda Mata Dari Kepulauan Fam: Sebuah Inisiatif Berbasis Masyarakat

Penulis: Nikka Amandra Gunadharma & Rens R. Lewerissa

Salah satu sudut dari hamparan pulau karst di Pianemo. Ya, Pianemo merupakan bagian dari Kepulauan Fam. (Foto Oleh: Nikka Amandra Gunadharma-CI Indonesia/2015)

Siapa yang ingin berdebat bahwa, bagi sebagian traveler, kenangan dari perjalanan yang telah dilaluinya adalah hal yang paling berharga, ‘sesuatu’ yang selalu dapat ‘dialami’ kembali setiap kali dirinya memejamkan mata: mulai dari imaji akan suatu tempat spesial sejauh yang dapat dirasakan kelima indranya; ketakjuban dan perasaan rendah hati yang mengisi hatinya ketika mengingat keindahan dari satu kunjungan beberapa tahun silam; hingga kepada sensasi yang dikirimkan oleh ribuan tunas pengecap ke otak, ketika pertama kali mengunyah makanan di suatu destinasi eksotis.

Seorang wisatawan asal Bali bersama-sama dengan Niken sedang mencicipi kelapa dari Kampung Saukabu, Kepulauan Fam. (Foto Oleh: Nikka Amandra Gunadharma-CI Indonesia/2016)

Kenangan dan beragam sensasinya juga bisa terpicu melalui bermacam rangsangan eksternal yang berfungsi sebagai ‘katalis.’ Perkembangan teknologi audio-visual tentunya mempermudah seorang traveler untuk memicu ingatan, dan ‘membagikannya’ melalui beragam kanal media kepada orang-orang terkasih, bahkan kepada khalayak ramai sekalipun.

Jika media tersebut berkesan “kurang personal,” mungkin cendera mata merupakan katalis lain yang mampu merapatkan kembali kenangan dengan konteks kekinian; cendera mata dengan beragam cerita yang terwakili oleh keberadaannya. Selain itu, cendera mata juga –tentunya, dapat Anda hadiahkan kepada orang terkasih; dan tanpa disengaja kenangan Anda terhadap suatu perjalananpun akan berkembang secara eksponensial, ‘menyentuh’ eksistensi lain di luar diri Anda.

Berbicara mengenai tanda mata dalam konteks industri pariwisata di Raja Ampat yang mulai berdenyut lebih kencang –khususnya di wilayah Kepulauan Fam dalam beberapa tahun belakangan ini, semenjak pertengahan tahun 2016 lalu Program Kelautan Raja Ampat Conservation International (CI) Indonesia bersama Mitra mulai mengembangkan suatu inisiatif perekonomian alternatif berbasis masyarakat dalam memproduksi Sabun Alami dan Virgin Coconut Oil (VCO).

Produk Sabun Alami yang dipajang dalam acara Deklarasi Adat Kawasan Konservasi Kepulauan Fam pada bulan Februari 2017 lalu. (Foto Oleh: Nikka Amandra Gunadharma-CI Indonesia/2017)

Inisiatif yang dikembangkan tersebut, selain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota Kelompok –yang mayoritas anggotanya adalah Ibu-ibu, dan memberdayakannya untuk berpartisipasi secara aktif dalam sektor pariwisata yang sedang berkembang di sana, secara jangka panjang juga bertujuan untuk memberikan ‘insentif’ yang solid untuk terus memberikan kontribusi terhadap upaya-upaya konservasi dan pelestarian lingkungan laut melalui kehadiran Kawasan Konservasi Perairan Kepulauan Fam yang telah dideklarasikan oleh masyarakat pada awal tahun 2017 lalu; terkhusus dalam upayanya untuk mengurangi tekanan –dan mengelola kebutuhan dari sebagian anggota masyarakat, terhadap sumber daya kelautan.

Ibu-ibu produsen Virgin Coconut Oil asal Kampung Saukabu sedang mencungkil daging kelapa: tahap awal dalam pembuatan VCO. (Foto Oleh: Kartika Dewi-CI Indonesia/2016)

Lantas mengapa Kelapa? Sebagaimana telah diketahui, kelapa merupakan salah satu komoditas utama yang mudah ditemukan di Kepulauan Fam, dan di sebagian besar wilayah di Kabupaten Raja Ampat juga, yang oleh masyarakat selain biasa dikonsumsi sebagai makanan maupun minuman, juga diolah menjadi komoditas seperti Kopra ataupun Minyak Kelapa. Secara umum, kelapa yang tumbuh secara organik di sana memiliki kualitas yang baik sebagai sebuah komoditas dengan potensi nilai ekonomis yang lebih tinggi sebagai produk olahan.

Sebagai perbandingan, dibutuhkan 100 butir kelapa untuk menghasilkan sebanyak 20 kilogram Kopra dengan harga Rp. 7.000/kilogram (harga pasar lokal per Oktober 2017). Sementara dari kuantitas bahan baku yang sama dapat menghasilkan sebanyak 2.200 mililiter Virgin Coconut Oil dengan nilai keseluruhan sebesar Rp. 2.200.000, atau sebanyak 65 batang Sabun Alami senilai Rp. 1.950.000.

Salah satu Produk hasil inisiatif perekonomian berbasis masyarakat asal Kampung Saukabu, Kepulauan Fam. (Foto Oleh: Rens R. Lewerissa-CI Indonesia/2017)

Dari tiga kampung yang berada di Kepulauan ini, Kampung Saukabu merupakan produsen VCO berbasis kelompok masyarakat, dan sudah mulai berproduksi semenjak tahun 2011 atas gagasan dua orang aktivis lingkungan dari Sea Sanctuary; Helen Newman (Alm.) dan Julien Fudge, yang ‘warisannya’ diteruskan oleh CI Indonesia bersama Mitra, baik pemerintah maupun non-pemerintah, semenjak tahun 2016 lalu.

Produk VCO ini menggunakan Minyak Kelapa berkualitas tinggi sebagai bahan dasar utama, dalam perkembangannya telah menggunakan air masak yang telah melalui proses penyaringan. Cendera mata otentik asal Kampung Saukabu ini tersedia dalam botol kemasan 250 dan 100 mililiter.

Ibu-ibu anggota kelompok masyarakat asal Kampung Pam bersenda gurau di sela-sela proses pencampuran bahan-bahan Sabun Alami. (Foto Oleh: Kartika Dewi-CI Indonesia/2016)

Sementara kerabat mereka yang tinggal di Kampung Pam mulai mengembangkan inisiatif produksi Sabun Alami semenjak medio 2016 lalu dengan bantuan dari Veronica Niken Dewi Ardiani, atau biasa dipanggil Niken –seorang praktisi usaha, penggiat lingkungan, sekaligus Konsultan bagi Program Kelautan Raja Ampat CI Indonesia. Seperti VCO dari Saukabu –yang mulai akhir tahun 2016 juga didampingi oleh Niken, Sabun Alami dari Kampung Pam ini juga menggunakan Minyak Kelapa berkualitas tinggi sebagai bahan baku utamanya.

Setelah melalui periode ‘riset dan pengembangan’ yang relatif singkat dan sederhana, produksi Sabun Alami telah berhasil mengembangkan empat varian pewangi, yaitu Jeruk Nipis, Melati, Sereh, dan Temu Giring, dan tersedia dalam dua bentuk: bujur sangkar dengan berat bersih mencapai 100 gram, dan; bulat dengan berat bersih 50 gram. Selain itu, Kelompok asal Kampung ini juga telah memproduksi Sabun Alami dalam bentuk dan ukuran tersendiri yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dari homestay, resor, maupun liveaboard.

Selain melalui eksibisi-eksibisi berskala lokal maupun regional yang bersifat insidental, produk Sabun Alami dan VCO dengan maskot “Si Romun” (“Romun” adalah Bahasa daerah untuk “Hiu,” ed.) ini dapat selalu ditemui di objek wisata Pianemo, Kepulauan Fam. Untuk informasi lebih lanjut mengenai Produk-produk berbasis komunitas asal Kepulauan Fam ini, harap hubungi Rens R. Lewerissa (Rens) melalui nomor ponsel +62-811-4861511, atau berkirim surel ke renollewerissa@yahoo.co.id.

Brosur dari Sabun Alami dan Virgin Coconut Oil dalam Bahasa Indonesia.

 

Nikka Amanda Gunadharma adalah Koordinator Komunikasi & Penjangkauan Papua Barat unkut Konservasi Internasional, Indonesia.
Rens R. Lewerissa adalah Raja Ampat Communication & Outreach Officer untuk Konservasi Internasional, Indonesia dengan fokus wilayah kerja program di Kepulauan Fam.

About the Author