Follow Us!

Mama Yosina dan Perempuan Penjaga Kepulauan Fam Oleh: Nikka Amandra Gunadharma

Mama Yosina dan Perempuan Penjaga Kepulauan Fam

Oleh: Nikka Amandra Gunadharma

Setelah melewati celah sempit untuk memasuki laguna berbentuk pari manta di dekat Piaynemo, Kepulauan Fam, atau ‘Pam’ menurut dialek lokal, di Raja Ampat, speedboatTim Patroli Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Kepulauan Fam, yang diberi nama “Romun,” mematikan kedua mesin 45 PK-nya. Dilingkupi bukit-bukit karst dan buaian jernihnya laguna yang berwarna zamrud, seorang perempuan paruh baya berkata pelan, “Di sini sudah.”

Yosina Rumbewas, 52 tahun, yang mencetuskan ide agar perempuan juga turut serta dalam patroli masyarakat di Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Kepulauan Fam (Foto Oleh:Rens R. Lewerissa-CI Indonesia/2018)

“Adalah saya… Yosina Rumbewas… Yang pertama-tama buang suara supaya Ibu-ibu di sini ikut patroli.” Meskipun terpatah-patah, gurat wajahnya menyiratkan kesungguhan dalam setiap kata yang mengalir ritmis di sela-sela nikmatnya setiap sesapan sirih dan pinang yang ia kunyah. Pada awal bulan Maret 2018 lalu, saya dan beberapa Rekan dari Conservation International (CI) Indonesia berkesempatan mewawancarai beliau di penghujung sesi Patroli Perempuan.

Mama Yosina adalah seorang perempuan ‘biasa’ asal Kampung Pam; salah satu dari tiga Kampung yang ada di Kepulauan Fam. Seperti kebanyakan Mama-mama di sana, Mama Yosina adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang juga berusaha untuk menjaga dapur keluarganya tetap ngebuldengan bekerja serabutan: mulai dari menganyam Senat–tikar dari batang sagu, membuat atap dari daun sagu, berkebun, hingga memancing.

Pada tahun 2016, inisiatif pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Kepulauan Fam mulai bergerak dengan intensif. Setelah melalui serangkaian rapat dan sosialisasi, pada tanggal 16 Februari 2017, masyarakat dari tiga Kampung di sana, Pam, Saukabu, dan Saupapir, mengukuhkan konsensus yang telah tercapai melalui sebuah deklarasi adat yang diselenggarakan bersamaan dengan perayaan masuknya Kitab Suci Injil di Kepulauan Fam kedelapan puluh enam.

Salahir tahun 1966… Bapak meninggal (ketika) saberumur sembilan tahun. Semenjak itu (saya) dipiara sama sa puBapa Tua. Bapa Tua ajak saya kemana-mana; memancing, ke kebun, ke laut,” Yang dimaksud dengan “Bapa Tua” oleh Mama Yosina adalah Paman atau Kakak dari Bapaknya. Mama Yosina terdiam sejenak untuk ‘mengisi-ulang’ sirih dan pinangnya yang mulai hambar, seraya melanjutkan, “Waktu itu pancing ikan gampang sekali.”

Tim Patroli Perempuan berpatroli dengan speedboat“Romun,” didampingi oleh tiga anggota Tim Patroli KKP Kepulauan Fam (Foto Oleh:Rens R. Lewerissa-CI Indonesia/2017)

Ingatan Mama Yosina melayaninya dengan sempurna ketika ia bercerita mengenai kapal-kapal dari luar yang datang dan pergi silih berganti untuk turut menikmati anugerah yang alam berikan di Kepulauan Fam. Ia mulai menyadari bahwa semenjak pergantian milenium, kapal-kapal yang datang tersebut semakin besar, semakin banyak, dan: semakin ‘ganas.’

Tidak mengejutkan memang, Raja Ampat adalah ‘rumah’ bagi tidak kurang dari 75 persen spesies terumbu karang yang ada di dunia, lebih dari 1.500 spesies ikan karang, singkatnya: Jantung Segitiga Terumbu Karang Dunia. Fakta tersebut tercermin melalui peningkatan pemanfaatan perikanan yang signifikan –termasuk aktivitas yang tergolong ilegal, dan dalam satu dekade terakhir: aktivitas pariwisata.

Peningkatan aktivitas-aktivitas tersebut tentunya hanya menambah ‘tekanan’ terhadap kemampuan Raja Ampat yang secara alamiah rentan dan memiliki batasan untuk ‘menampung’ beragam aktivitas tersebut: sebuah keniscayaan yang juga terjadi di Kepulauan Fam, setidaknya menurut pengamatan Mama Yosina.

“Waktu konservasi datang di Pam tahun 2016, sa ikut-ikut rapat di Kampung… Terus saya bilang sama ‘Pak ‘Kris, kalo sa dengMama-mama yang lain juga moikut patroli.” Yang dimaksud dengan “Pak ‘Kris” oleh Mama Yosina merujuk pada Kristian Thebu, Raja Ampat Program Manager dari CI Indonesia. Secara alamiah kamipun bertanya apakah keinginan tersebut menemui tantangan, terkhusus dari Bapak-bapak; sebuah pertanyaan yang ditanggapi Mama Yosina dengan senyuman.

Selain berfokus pada aktivitas pariwisata di Piaynemo, Tim Patroli Perempuan juga turut ambil bagian dalam mengambil data hasil tangkapan ikan, khususnya dari nelayan-nelayan tradisional yang kebanyakan berasal dari Kampung-kampung di Kepulauan Fam (Foto Oleh:Rens R. Lewerissa-CI Indonesia/2017)

Seperti halnya di daerah lain di Raja Ampat –yang dimulai semenjak tahun 2004, CI Indonesia bersama Mitra memulai inisiatif pembentukan KKP berdasarkan aspirasi dari tingkat akar rumput, sebelum selanjutnya mengikuti dan diperkuat dengan beragam regulasi di tingkat Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat terkait mekanisme penetapan dan pengelolaan KKP.

Kepulauan Fam merupakan salah satu (calon) KKP ‘termuda,’ namun CI Indonesia menerapkan pendekatan yang sedikit berbeda jika dibandingkan dengan pengembangan KKP di daerah lainnya di Raja Ampat. Berangkat dari intensitas keterlibatan masyarakat yang cukup tinggi di sana, maka Kepulauan Fam diproyeksikan untuk menjadi Centre of Excellence pengelolaan kawasan lindung yang digerakan oleh masyarakat lokal, sekaligus secara paralel mengembangkan inisiatif-inisiatif mata pencaharian alternatif berbasis komunitas sebagai bagian dari upaya untuk menerapkan konsep pariwisata berkelanjutan di sana.

Kegiatan patroli masyarakat merupakan salah satu upaya pengelolaan di Kepulauan Fam guna mengantisipasi lonjakan intensitas pemanfaatan yang beragam bentuknya. Sementara lebih spesifik, Patroli Perempuan biasanya dilakukan oleh empat perempuan dari tiga Kampung di Kepulauan Fam secara bergilir, dan didampingi oleh setidak-tidaknya tiga anggota Tim Patroli Laki-laki. Patroli ini diselenggarakan minimal empat kali dalam sebulan, dan berfokus pada pengawasan kegiatan pariwisata di Piaynemo.

Sebelum langit beranjak jingga, penanda bagi kami untuk kembali ke Pos Pengawas KKP Kepulauan Fam, pertanyaan terakhir yang kami ajukan adalah mengapa beliau tertarik berpatroli. Mama Yosina menjawab enteng, “Sa rasa Mama-mama juga pu tanggung jawab sama deng Bapak-bapak untuk patroli, jaga kitong pu laut; buat kitong pu anak-cucu.”

Menjelang petang, Tim Patroli Perempuan beranjak menuju Pos Pengawasan KKP Kepulauan Fam (Foto Oleh:Rens R. Lewerissa-CI Indonesia/2017)

Tanpa gemuruh tepuk tangan membahana di sela-sela perayaan Hari Perempuan Internasional, dan kemungkinan besar juga Mama Yosina tidak mengenal Rebecca Walker –seorang tokoh Feminisme-Gelombang-Ketiga yang mendorong perempuan untuk menjadi pemimpin di komunitasnya, Mama Yosina bersama ‘Kamerad-kamerad Perempuannya’ di Kepulauan Fam, entah disadari atau tidak, sesungguhnya sedang melakukan upaya-upaya dalam merevitalisasi peran perempuan dalam konteks konservasi dan pengelolaan kawasan konservasi. Maju terus!

Nikka Amanda Gunadharma adalah Koordinator Komunikasi & Penjangkauan Papua Barat unkut Konservasi Internasional, Indonesia.

About the Author