Kepulauan Fam: Satu Lagi ‘Kepingan’ Memesona dari Raja Ampat oleh Nikka Amandra Gunadharma & Rens R. Lewerissa
Kepulauan Fam: Satu Lagi ‘Kepingan’ Memesona dari Raja Ampat
Penulis: Nikka Amandra Gunadharma & Rens R. Lewerissa
Bagi yang sudah familiar dengan Raja Ampat, nama Kepulauan Fam (atau “Pam” menurut dialek lokal), mungkin, masihlah terdengar asing. Namun jika seseorang menyerukan nama Pianemo (atau “Pyai Nemo” menurut dialek lokal), mungkin sebagian orang akan –setidaknya, mengatakan: ”Oooh, tempat itu.” Ya, gugusan pulau-pulau karst yang indah di Pianemo –yang sering disebut sebagai Wayag kecil, adalah bagian dari Kepulauan Fam.
Terdapat tiga kampung di Kepulauan yang berada di Distrik Waigeo Barat Kepulauan ini. Kampung Pam yang berada di Pulau Pam Kecil, sementara Kampung Saukabu dan Saupapir berada di Pulau Pam Besar –atau “Pam Bemuk” menurut bahasa setempat. Selain kedua Pulau tersebut, di Kepulauan Fam terdapat setidak-tidaknya delapan belas pulau lainnya yang, sejauh diketahui, tidak berpenghuni.
Hampir seluruh masyarakat di Kepulauan Fam adalah pelaut-pelaut dari Biak-Serui –sebuah wilayah yang berada di bawah wilayah petuanan Seireri, yang telah mendiami gugusan kepulauan di sana selama ratusan tahun, dan haknya telah diakui secara terbatas oleh Suku Maya. Sebagai informasi, Suku Maya –yang pada tahun 2000 telah membentuk sebuah Dewan Adat, adalah suku asli pemilik hak ulayat atas seluruh wilayah Raja Ampat.
Masyarakat pesisir di Raja Ampat –seperti lazimnya wilayah pesisir di Indonesia, secara alamiah memiliki kemungkinan lebih besar untuk berinteraksi dengan pendatang, dan dalam konteks partikular interaksi tersebut akan mendorong proses akulturasi, yang pada titik tertentu akan menghasilkan suatu ‘sintesa’ budaya yang unik: proses ini pulalah yang terjadi di Kepulauan Fam.
Dalam hal keanekaragaman hayati, seperti wilayah lainnya di Raja Ampat, Kepulauan Fam juga memiliki nilai ekologis yang tinggi. Dari perspektif keterwakilan habitat, secara sederhana wilayah Kepulauan ‘mini’ ini dapat dikatakan sebagai representasi habitat dan ekosistem dari seluruh Raja Ampat, yang mencakup pulau karst, laguna, terumbu karang tepi, terumbu karang dalam, hutan bakau, hingga padang lamun. Melalui sudut pandang tersebut, Kepulauan Fam dapat dikatakan sebagai ‘Raja Ampat kecil.’
Pada tahun 2013 lalu, Dr. Gerry Allen dan Dr. Mark Erdmann, mencatat sebanyak 707 spesies ikan di perairan Kepulauan Fam; dimana hampir di semua situs penyelaman ditemukan Hiu dan Ikan Napoleon. Sementara intensitas spesies ikan tertinggi yang tercatat dalam satu sesi penyelaman sebanyak 357 spesies ikan.
“Selain ikan karang, sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Benjamin Kahn pada tahun 2007 lalu mengindikasikan bahwa Kepulauan Fam merupakan wilayah ruaya bagi Lumba-lumba Indo-pacific Bottlenose, Bottlenose biasa, dan Spinner. Selain mamalia laut, Kepulauan ini juga secara faktual merupakan habitat penting bagi Kepiting Kenari yang dilindungi, dan juga Pari Manta,” jelas Nur Ismu Hidayat, Bird’s Head Seascape Science & Monitoring Senior Coordinator dari Conservation International (CI) Indonesia.
Kelimpahan sumber daya kelautan di Kepulauan Fam juga menyiratkan potensi pariwisata bahari yang tidak kalah bernilainya. Seperti telah digambarkan di awal tulisan ini, dalam beberapa tahun belakangan aktivitas pariwisata di Kepulauan ini mengalami peningkatan yang signifikan; dengan Pianemo sebagai ‘batu loncatan’ bagi wisatawan untuk menjelajahi Kepulauan Fam lebih jauh, dan jauh lagi.
Nikka Amanda Gunadharma adalah Koordinator Komunikasi & Penjangkauan Papua Barat unkut Konservasi Internasional, Indonesia.
Rens R. Lewerissa adalah Raja Ampat Communication & Outreach Officer untuk Konservasi Internasional, Indonesia dengan fokus wilayah kerja program di Kepulauan Fam.