Lewat Tradisi Leluhur “Kerakera,” Masyarakat di Pulau Ugar, Fakfak, Jaga Kelestarian Alam Oleh: Anastasia Ramalo
Lewat Tradisi Leluhur “Kerakera,” Masyarakat di Pulau Ugar, Fakfak, Jaga Kelestarian Alam
Oleh: Anastasia Ramalo
“Kami tidak bisa beritahu terlalu banyak tentang hal ini. Biasanya hanya orang-orang tertentu saja yang tahu detailnya. Kalau adik-adik ini masih terlalu muda untuk tahu,” ungkap Pak Saraf Bairuma dari Kampung Ugar, Fakfak, Papua Barat, menasehati kami yang ingin mencari tahu soal “kerakera.” Kerakera adalah tradisi masyarakat Fakfak yang sudah berlangsung sejak lama untuk menjaga sumber daya laut dan mencegah eksploitasi laut. Di lokasi lain di Papua Barat, tradisi ini kerap disebut sasi.
Ternyata, tradisi kerakera masih terlalu mistis untuk dibagikan dengan orang lain.
Nampaknya memang masih banyak sejarah Fakfak yang masih terbalut rahasia. Sebelumnya, Nafaris Gwasgwas, “Kapitan” (semacam wakil raja) di Pulau Andamata yang bertetangga dengan Pulau Ugar juga mengutarakan hal yang sama ketika diwawancarai. “Ada hal-hal yang boleh kami ceritakan, ada yang tidak,” begitu ujarnya.
Mungkin inilah mengapa banyak informasi mengenai Fakfak yang tidak terekam di buku sejarah atau karya ilmiah. Salah satunya adalah tentang kerakera yang merupakan tradisi asli Fakfak. Tradisi ini mirip dengan sasi, yakni upaya untuk menjaga sumber daya alam agar terus menerus ada dan memberikan manfaat bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya. Namun, berbeda dengan sasi yang ritualnya tercatat di berbagai penelitian, kerakera hanya disebutkan dalam satu karya ilmiah, yakni “Trade, Circulation, and Flow in the Indian Ocean World” yang ditulis oleh Michael Pearson. Meski demikian, Pak Saraf Biaruma dan Ahmad Biaruma selaku pemangku kepentingan di Kampung Ugar bersedia membagikan informasi secara umum tentang sistem kerakera yang masih berjalan di Ugar hingga saat ini.
Kerakera di Ugar merupakan sebuah perjanjian kolektif untuk tidak mengambil sumber daya, baik di laut maupun di darat dalam jangka waktu tertentu yang berlaku bagi semua orang. Artinya, penduduk yang tinggal di luar wilayah kerakera pun wajib menghormati kerakera yang sedang berlangsung dan tidak mengambil sumber daya tersebut. Bapak Saraf menjelaskan bahwa hal ini berbeda dengan sasi yang biasanya berlaku perorangan di Fakfak.
Kerakera di laut berbentuk pelarangan mengambil udang, teripang, dan lobster di wilayah seluas satu hektar. Berbeda dengan kerakera di darat yang biasanya diberi tanda di pohon tertentu yang buahnya dilarang untuk diambil, kerakera di Ugar tidak diberi tanda. “Tandanya adalah dua buah pulau yang mengapit wilayah tersebut. Warga biasanya sudah tahu di mana lokasinya,” tambah Bapak Saraf.
Kerakera memang dilakukan secara reguler sehingga kebanyakan warga sudah terbiasa dengan peraturan kerakera. Penutupan wilayah dilaksanakan dari Oktober-April, lalu dibuka saat musim April-Oktober. Pembukaan ini biasanya terjadi pada bulan Maret atau April dan dilaksanakan dengan ritual tersendiri.
“Kami biasanya menentukan kapan membuka kerakera dengan berbagai tanda, yaitu burung, matahari, dan kondisi air laut,” Bapak Saraf menjelaskan namun enggan untuk menceritakan detail tentang ritual ini. “Datang saja ke upacaranya Maret atau April tahun 2019 mendatang untuk paham bagaimana prosesinya,” lanjutnya. Mungkin ini adalah salah satu detail kerakera yang tidak boleh dibagikan kepada orang-orang lain selain para tetua di Ugar.
Bapak Saraf melanjutkan bahwa prosesi biasanya terjadi selama 2-3 hari. Sehari sebelum pembukaan kerakera, seluruh warga diberikan informasi. Tak hanya warga ugar, tetapi juga warga yang tinggal di luar Ugar, seperti di Kokas agar mereka bisa bersiap-siap untuk melaksanakan ritual mandi (berenang) di laut untuk membuang kesialan sebelum kerakera dibuka. Meski banyak warga di luar Ugar yang mengikuti tradisi ini, Bapak Saraf mengonfirmasi bahwa pusat acaranya masih di Pulau Ugar.
Mengapa warga Ugar masih menjalankan tradisi nenek moyang ini ketika warga di pulau-pulau lainnya di Fakfak sudah berhenti melaksanakannya? Bapak Ahmad hanya mengangkat bahu. Masih kentalnya tradisi kerakera mungkin karena nenek moyang Pulau Ugar lebih ketat memberlakukan kerakera sebagai sebuah tanggung jawab untuk generasi-generasi selanjutnya, sehingga tradisi itu masih terjadi hingga sekarang. Menurut cerita Bapak Ahmad, warga Ugar kerap mengajak anak-anak kecil untuk ikut prosesi tersebut sehingga bagian dari generasi mendatang ini mengetahui tradisinya dan bisa melaksanakannya saat mereka dewasa kelak.
Seakan menambah aura mistis seputar kerakera, Bapak Saraf dan Ahmad mempercayai bahwa hukuman bagi pelanggar kerakera bersifat gaib. Biasanya, orang yang mengambil spesies-spesies
yang dilarang selama kerakera berlangsung terkena berbagai penyakit. Mungkin kepercayaan ini yang membuat kerakera dipatuhi warga. Entah benar terjadi atau tidak, yang pasti kerakera di Fakfak, khususnya di Ugar, telah menjadi salah satu bukti kearifan lokal dalam menjaga alam dan menjadi sumber inspirasi bagi lokasi-lokasi lain di Fakfak untuk menghidupkan kembali tradisi ini.
Anastasia Ramalo adalah Petugas Komunikasi Senior untuk CI Indonesia-Program Fak-Fak