Follow Us!

Pulau Venu, Rumah si “Duta” laut dari Kaimana by Nita Johana

Pulau Venu, Rumah si “Duta” laut dari Kaimana

by Nita Johana

Seekor induk Penyu Lekang menutup sarang setelah mengeluarkan hampir130 butir telur di Pulau Venu

 Perlindungan Pantai peneluran Penyu

Ombak menerjang bibir pantai, disertai angin kencang menyapu pasir putih pulau dengan luas tiga kali lapangan sepakbola di ujung barat Kaimana ini. Pulau Venu, demikian masyarakat kampung menyebutnya. Venu dalam bahasa Suku Koiway bermakna pulau telur. Penamaan ini sesuai dengan hadirnya ratusan penyu yang bertelur di sepanjang pasir putihnya.

Di pulau Venu bersarang tiga jenis penyu yaitu, penyu hijau (Chelonia mydas),penyu sisik (Eretmochelys imbricate) dan Lekang (Lepidochelys olivacea). Topografi yang relative datar dengan ketinggian 0 sampai 7 meter di atas permukaan laut, serta bagian tepi luar pantainya dikelilingi pasir merupakan lokasi yang ideal untuk penyu naik dan bertelur.

Conservation International (CI) bekerjasama dengan Balai Besar KSDA Papua Barat, melalui Seksi KSDA Wilayah IV Kaimana, dan masyarakat Adat setempat melakukan kegiatan pemantauan di Pulau Venu. Kegiatan ini berupa pendataan dan pembentukan tim Patroli pengawasan daerah peneluran penyu, yang dimulai sejak Februari 2011.

Pendataan dilakukan bertujuan untuk mengetahui waktu (tanggal dan jam) penyu naik bertelur, jenis penyu, lokasi dominan tempat bertelur, ukuran induk penyu, frekuensi peneluran dan jumlah telur yang dihasilkan dari tiap induk penyu . Pelaksanaan pemantauan dilakukan setiap malam pada jam 19.00 sampai 23.00 WIT. Apabila menemukan penyu naik dan bertelur, maka dilakukan identifikasi, pengukuran, serta pemberian tanda pada setiap lokasi tempat bertelur.

Tim Patroli dibentuk atas inisiasi CI, bertujuan untuk melakukan perlindungan terhadap ancaman, baik secara alami (abrasi,predator) maupun non alami (manusia). Tim Patroli ini akan menindak bagi pelanggar yang melakukan perbuatan yang bersifat mengancam keberlangsungan hidup penyu.

Untuk mencapai Pulau Venu dari ibukota kabupaten, dibutuhkan waktu dua sampai tiga jam perjalanan laut dengan menumpang speedboat bermesin ganda 40 PK. Pulau ini terbangun dari tumpukan pasir putih berkerikil dengan panjang kurang lebih meter, lebar 300 meter dan panjang 700 meter. Bentuknya seperti gelang, dimana bagian tengahnya terdapat kolam air asin yang mengalami pasang surut, mengikuti air laut. Secara geografis Pulau yang masih dihuni burung Maleo ini terletak di 1330 26’ 32” BT sampai 1330 34’ 19’’ BT dan 40 13’ 57’’ LS sampai 40 22’ 51’’ LS, artinya tepat di selatan kepala burung Provinsi Papua Barat yang berhadapan langsung dengan Laut Aru.

 Tete Irisa, mengumpulkan tukik yang baru menetas di Sarang perli

Tete Irisa, menjaga Jalepi, Eran dan Bambawar dari kepunahan

Seperti biasanya, setiap malam Irisa Sawoka (60 tahun) berpatroli mengelilingi pulau untuk mendeteksi jejak penyu yang naik ke pantai untuk bertelur. Dibantu Yohan (40 tahun), menyusuri pantai tampa penerangan merupakan rutinitas kedua staff CI ini. Tete Irisa biasanya laki-laki paruh baya ini disapa, penjaga perintis perlindungan peneluran di Pulau Venu. Tidak memiliki pengetahuan mengenai perlindungan penyu, tidak menyurutkan tekad beliau menjalankan tugasnya. “Jelepi dan Eran yang paling banyak naik dan bertelur tampa mengenal musim,” ujar beliau sambil menggali lubang untuk memindahkan telur penyu ke lokasi perlindungan di depan pos penjagaan. Sedangkan bambawar, lebih banyak naik di musim pancaroba atau sekitar bulan oktober, selain musim itu hanya terlihat satu atau dua ekor seja. Dalam bahasa Koiway, jelepi berarti penyu hijau, eran penyu sisik dan bambawar adalah lekang. Ketiga jenis ini sudah lama dikenal oleh masyarakat sekitar Pulau Venu.

Dalam satu malam, penyu naik dan bertelur sekitar 10 sampai 15 ekor. Setelah dilakukan identifikasi, dilanjutkan dengan pemberian nomor sarang. Tujuannya untuk mengetahui jumlah penyu yang naik dan bertelur. Pagi hari, aktivitas pemindahan telur dari sarang ke lokasi perlindungan dilakukan tete Irisa dengan berbekal sebuah ember besar. Menurut beliau, pemindahan ini untuk mencegah predator memangsa telur dan memperbesar kemungkinan tukik menentas, serta membantu pelepasan tukik ke laut. Pemindahan telur ini dilakukan dibawah duapuluh empat jam, hal ini mengantisipasi putih telur tidak melebur sehingga menekan angka kegagalan pembentuan embrio tukik. Lokasi baru digali sesuai dengan sarang aslinya dengan kedalaman 60 cm. Telur penyu akan menetas dan mencari jalan keluar setelah 30 sampai 40 hari. “Ada yang unik ketika tukik menetas, “ kata bapak empat anak kelahiran asli Kaimana ini. Tukik dapat mengetahui secara naluri tidak akan turun ke pantai ketika hari masih terang, tukik-tukik ini hanya mengintip saja di tumpukan pasir, lalu membenamkan diri kembali kedalam sarang, dan akan keluar memulai pengembaraannya di lautan ketika matahari sudah turun atau malam tiba.

Di Pulau Venu, pelepasan tukik dilakukan sekitar pukul 19.00 WIT. Hal ini untuk menghindari terjangan predator di darat maupun dilautan. “ Hanya dua tukik saja yang dapat besar dan kembali ke pulau untuk bertelur dari 180 sampai 200 telur yang kita lepaskan,” ujar tete Irisa parau. Bayangkan saja, dari rata-rata satu sarang yang menghasilkan 180 sampai 200 telur, hanya dua saja yang selamat dari evolusi alami. Persaingan sudah dimulai sejak tukik-tukik ini ditelurkan, memulai langkah pertama di lautan sampai diburu untuk diambil karapasnya.

 Tukik memulai pengembaraannya di lautan

Penyu, sejarahnya, hari ini dan masa depan

Ketika belum adanya perlindungan pantai peneluran penyu, banyak aktivitas exploitasi terhadap hewan laut yang terkenal sebagai pengembara samudera ini. Penangkapan besar-besaran terjadi sekitar tahun 1960-an sampai 2010 . Ribuan ekor penyu hijau dan penyu sisik berpindah dari pantai berpasir ke perahu nelayan. Bahkan, telur penyu tidak memiliki kesempatan untuk menetas. Penjarahan telur juga dilakukan untuk dikonsumsi. Menurut tete Irisa, nelayan luar daerah yang datang mengambil penyu. Mereka mengambil karapasnya saja. Sedangkan dagingnya ditinggalkan dan hanya sebahagian kecil saja dikonsumsi. Penjarah bukan dari masyarakat di sekitar pulau, mereka datang dari Sulawesi dan Tual.

Tahun berganti, ribuan ekor penyu yang biasanya mendarat mulai menyusut jumlahnya. Sebagian masyarakat menyadari hal tersebut. Namun untuk melakukan perlindungan sangatlah tidak mudah. Keterbatasan sarana dan pengetahuan menjadi hambatan utama. Langkah yang dibangun atas inisiatif CI yang menggandeng BKSDA, untuk melindungi pantai peneluran penyu mendapat dukungan dari masyarakat dan pemilik petuanan. Berdasarkan data CI tahun 2011 sampai 2013, penyu yang naik dan bertelur berjumlah 2.477 ekor. Tentu saja, ini merupakan hasil yang positif dari kerja sama berbagai pihak untuk menyelamatkan si duta laut dari kepunahan.

 Tukik yang baru menetas dari sarang 2397

 

About the Author