Follow Us!

Masyarakat Kukuhkan Kepulauan Fam Sebagai Kawasan Konservasi Perairan Penulis: Nikka Amandra Gunadharma & Rens R. Lewerissa

Masyarakat Kukuhkan Kepulauan Fam Sebagai Kawasan Konservasi Perairan

Penulis: Nikka Amandra Gunadharma & Rens R. Lewerissa

Peta Usulan Inisiatif Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kepulauan Fam. (Peta oleh: Nur Ismu Hidayat-CI Indonesia/2017)

Setelah melalui sebuah proses yang cukup panjang –yang dimulai semenjak pertengahan tahun 2016 lalu, akirnya pada bulan Januari tahun ini masyarakat dari tiga kampung yang berlokasi
di Kepulauan Fam (atau Kepulauan Pam menurut dialek lokal), yaitu Kampung Pam, Saukabu, dan Saupapir menyepakati pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang diharapkan dapat melindungi dan melestarikan sumber daya kelautan yang terkandung di bawah perairan Kepulauan ‘kecil’ di Raja Ampat ini.

Kesepakatan tersebut akan dimanifestasikan dalam bentuk deklarasi adat yang digelar berbarengan dengan peringatan ke-delapan puluh tujuh ‘masuknya’ Kitab Suci Injil ke Kepulauan Fam pada tahun 1930 lalu. Menurut kepercayaan masyarakat, Kitab Suci Injil pertama kali dibawa ke Kepulauan Fam oleh Pendeta yang berasal dari Kepulauan Maluku, Y. Fenan Laber, pada tanggal 16 Februari 1930, yang penyebarannya diteruskan oleh Pendeta Yesaya Pupela satu tahun kemudian.

Gelaran tarian Yosim Pancar yang lazim dipersembahkan untuk menyambut tamu-tamu kehormatan dalam acara-acara khusus di Raja Ampat. (Foto Oleh: Nikka Amandra Gunadharma-CI Indonesia/2017)

Kita percepat sedikit ke tanggal 16 Februari 2017. Setelah tarian penyambutan Yosim Pancar rampung digelar untuk menyambut tamu-tamu kehormatan, kegiatan yang diselenggarakan pada hari Kamis yang cerah tersebut dilanjutkan dengan rangkaian acara keagamaan, yang dibuka dengan sebuah Tablo yang menceritakan apa yang dialami oleh Pendeta dari Kepulauan Maluku tersebut ketika pertama kali ‘memperkenalkan’ Kitab Suci Injil kepada masyarakat di Kepulauan Fam dengan menggunakan Kapal Injil –atau “Wairefo,” menurut Bahasa setempat.

Dalam seni pertunjukan tersebut digambarkan betapa pada awalnya sebagian masyarakat di Kepulauan Fam menghiraukan ajaran Kristus, bersikap resisten, bahkan cenderung mengarah pada kekerasan; sebelum akhirnya satu demi satu anggota masyarakat di Kepulauan Fam bertobat. Pesan yang tersampaikan melalui Tablo tersebut –tanpa mengesampingkan nilai-nilai religius yang terkandung di dalamnya, menjadi semakin menarik jika dianalogikan dengan konteks kekinian: terutama berkaitan dengan upaya-upaya konservasi dan pelestarian lingkungan di Kepulauan Fam maupun Raja Ampat secara umum.

Tablo yang menceritakan kembali situasi ketika pertama kalinya Kitab Suci Injil diperkenalkan kepada masyarakat di Kepulauan Fam. Tampak di kejauhan masyarakat khusyuk mengikuti Misa, sementara sebagian lagi menghiraukannya. (Foto Oleh: Nikka Amandra Gunadharma-CI Indonesia/2017)

Berdasarkan obrolan secara terpisah dengan beberapa Rekan yang sudah cukup lama terlibat dalam aktivitas konservasi di Raja Ampat, baik itu mereka yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pihak swasta, hingga kepada Rekan yang mengabdi kepada institusi pemerintahan, kesemuanya bermuara kepada satu ‘rangkuman’: bahwa inisiatif konservasi dan pelestarian lingkungan di Raja Ampat tidaklah berjalan mulus-mulus amat.

Para penggiat konservasi tersebut pada awalnya selalu menemukan respon skeptis, penolakan, hingga perlawanan. Dan meskipun upaya-upaya tersebut belum dapat dikatakan telah termanifestasikan secara ‘ideal,’ toh pada akhirnya Raja Ampat telah berhasil membangun lima Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) –yang kesemuanya dibangun berdasarkan aspirasi dari tingkat akar rumput, yaitu: Ayau-Asia; Teluk Mayalibit; Selat Dampier; Misool, dan; Kofiau-Boo.

Deklarasi Adat Kawasan Konservasi Kepulauan Fam diselenggarakan berbarengan dengan peringatan 87 tahun ‘masuknya’ Kitab Suci Injil di Kepulauan Fam. (Foto Oleh: Nikka Amandra Gunadharma-CI Indonesia/2017)

Kembali ke Kegiatan yang diselenggarakan di Pulau Meoskor, Kepulauan Fam. Sembari Tablo tetap berjalan, Pendeta Apolos Zeth Latumahina dari Klasis Raja Ampat Utara Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua memulai prosesi misa yang dihadiri oleh masyarakat dari tiga Kampung di Kepulauan Fam. Selepas misa, Perahu Injil ‘berlayar’ berpenumpang tamu-tamu undangan yang disertai oleh masyarakat yang hadir pada Kegiatan di hari itu.

Ketika Wairefo berlabuh kembali, acara telah beralih untuk penanda tanganan Berita Acara Deklarasi, sekaligus peresmian Pos Pengawasan Kawasan Konservasi Kepulauan Fam secara simbolis.

Kapal Wairefo –atau Kapal Injil, kembali ‘berlayar’ untuk mengantarkan tamu-tamu undangan menuju acara berikutnya. Tampak Vice President CI Indonesia (berkemeja putih) berjalan bersama Bupati Raja Ampat (berkemeja batik). (Foto Oleh: Nikka Amandra Gunadharma-CI Indonesia/2017)

Sebanyak 20 perwakilan marga, seluruh Kepala Kampung dan Kepala Adat dari tiga Kampung di Kepulauan Fam dengan meyakinkan menandatangani Berita Acara yang mengukuhkan perlindungan dan pengelolaan terhadap tidak kurang dari 360.000 hektar kawasan perairannya. Untuk memperkuat Deklarasi tersebut, Berita Acara juga turut ditandatangani oleh Bupati Raja Ampat, Abdul Faris Umlati, SE., dan perwakilan dari Klasis Raja Ampat Utara GKI di Tanah Papua, Otniel Mayor, yang bertindak sebagai sebagai Saksi-saksi terhadap Komitmen Adat tersebut.

Sebagai penutup dari kegiatan di pertengahan Februari tersebut, Bupati Raja Ampat, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat –Marthen Luther Bartholomeus Imbir, S.Pi., Charles Imbir selaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Raja Ampat, beserta Vice President Conservation International (CI) Indonesia, Ir. Ketut Sarjana Putra, M.Sc., secara simbolis menuangkan semen dan membuka selubung papan sebagai tanda peresmian Pos Pengawas KKP Kepulauan Fam.

Salah satu perwakilan marga di Kepulauan Fam sedang menandatangani Berita Acara Deklarasi KKP Kepulauan Fam. (Foto Oleh: Nikka Amandra Gunadharma-CI Indonesia/2017)

Deklarasi Adat KKP Kepulauan Fam ini mesti dipandang sebagai epilog, sekaligus awal dari babak berikutnya yang datang tanpa jeda sedikitpun, yang menyiratkan tantangan yang mesti dihadapi secara kolaboratif: terutama oleh masyarakat dan Pemangku Kepentingan lainnya di Kepulauan Fam.

Agar bisa ‘bersanding’ bersama-sama dengan lima KKPD di Raja Ampat yang telah terbentuk, Kepulauan Fam mesti melalui Tahap Pencadangan terlebih dahulu, lalu menyusun Rencana Pengelolaan dan Zonasi, mempersiapkan kapasitas calon pengelola kawasan, mempersiapkan konsep unit pengelola, melalui serangkaian lobi, pertemuan dan konsultasi publik, serta serangkaian persyaratan lainnya sebelum kawasannya ditetapkan sebagai KKP secara legal-formal.

Sebuah jalan yang nampak panjang, memang. Namun jika mengingat potensi, antusiasme, semangat dan komitmen dari masyarakat di Kepulauan yang berada di Distrik Waigeo Barat Kepulauan ini, Fam dapat selalu melayangkan pandangannya jauh ke cakrawala sana dengan kepala tegak, dan hati yang dipenuhi perasaan optimis sama sekali tidak semu.

Para undangan berfoto bersama di depan Papan Nama Pos Pengawas KKP Kepulauan Fam (dari kiri ke kanan): Kepala Kampung Saukabu, Ariel Fakdawer; Kepala DKP Raja Ampat; Perwakilan dari GKI Klasis Raja Ampat Utara; Bupati Raja Ampat; Vice President CI Indonesia; Charles Imbir, dan; Pendeta Apolos Zeth Latumahina. (Foto Oleh: Nikka Amandra Gunadharma-CI Indonesia/2017).

 

Nikka Amanda Gunadharma adalah Koordinator Komunikasi & Penjangkauan Papua Barat unkut Konservasi Internasional, Indonesia.
Rens R. Lewerissa adalah Raja Ampat Communication & Outreach Officer untuk Konservasi Internasional, Indonesia dengan fokus wilayah kerja program di Kepulauan Fam…

 

About the Author